Bahagia itu sederhana, itulah
pepatah yang aku dapat hari ini ketika aku membuka salah satu artikel di
facebook. Entah kenapa aku menyambungkan kalimat itu dengan keadaan hubungan
orang tuaku saat itu. Yang aku tahu
ketika kita sudah menikah seharusnya rasa percaya dan perhatian terhadap
pasangan akan lebih ekstra banyaknya kita peroleh dibanding ketika kita
menjalani masa pacaran.
Ketika usiaku 18 tahun aku
selalu membayangkan akan jadi apa aku, akan seperti apa pasangan hidupku nanti,
pernikahan sakral seperti apa yang aku ingin, rumah tangga yang harmonis yang
ingin aku bentuk nanti dan anak-anak yang baik yang akan aku lahirkan kelak.
Dengan murah dan mudahnya lamunan keinginanku itu terus terbang dalam benak dan
mimpiku.
Di suatu hari aku baru menyadari
apa yang selalu menari dalam anganku itu tidak akan mudah aku realisasikan
dalam masa depanku nanti. Ketika pada masanya orang tuaku selalu bertengkar
dengan masalah yang berbeda-beda setiap harinya. Mengapa dua orang yang saling
menyayangi dan saling berjanji untuk selalu membahagiakan kini terus menerus
bertengkar?
Suatu hubungan ternyata tidak
semudah mengungkapkan kata-kata dalam menjalani dan mempertahankannya. Tidak
semudah membalikan tangan dalam menghadapi persoalan di antara pelakunya. Hukum
mengalah dan mengimbangi tak kalah penting perannya disini, mungkin jika di
tambah sabar juga pengertian lebih yang akan membuat keadaannya akan baik-baik
saja.
Mungkin tidak hanya aku yang
mengalami keadaan dimana aku harus mendengar umpatan yang tidak enak di dengar
keluar dari mulut kedua orang tua yang paling kita cintai di dunia ini. Namun
inilah kehidupan dimana cinta dan benci tidak jauh berbeda, dan ujian kesetiaan
dimulai.
Kata orang ketika kita ingin di
perlakukan baik maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik terlebih
dahulu. Dan juga ketika kita ingin pasangan kita setia maka kita harus setia
juga. Itulah hukum timbal balik. Namun bagaimanakah rasanya ketika kita selalu
setia kepada pasangan kita dengan harapan kita tidak akan di khianati namun
pada kenyataannya pasangan kita tidak setia ?
Ketika hal itu terjadi ibuku
walau dalam sikap diamnya ada seribu isyarat kecewa yang amat dalam tersirat di
wajahnya. Aku tahu ibuku adalah seorang wanita yang sibuk baik itu dalam
mengurus urusan rumah tangga maupun dalam mengurus bisnisnya, namun ibuku pasti
setia. Maka ketika tahu ayahku mengkhianatinya bukan hanya satu pisau yang
menyayat hatinya mungkin beribu-ribu pisau telah mengoyak hatinya.
Aku selalu heran dengan jalan
pikiran seorang pria, ketika dia baru memulai karirnya dia selalu setia dan
bersikap manis terhadap pasangan dan keluarganya, namun ketika karirnya sedang
meroket, dengan banjir uang setiap harinya maka tak jarang pengkhianatan
terjadi. Aku juga menyadari tidak hanya pria yang akan melakukan pengkhianatan
ketika keadaan dirinya sudah tidak nyaman dalam situasi yang menekannya, wanita
pun tidak sedikit yang melakukan pengkhiantan.
Namun di dalam kisah ini tak
hanya ayahku yang melakukan pengkhianatan, namun ibuku yang tadinya orang setia
entah kenapa melakukan pengkhianatan juga. Kadang aku berpikir apa yang ibuku
lakukan mungkin itu akibat sakit hati yang teramat sakit yang telah beliau
rasakan. Tapi apakah harus kita membalas perbuatan yang sama ketika kita di
khianati?
Ketika semua itu terjadi, aku
tidak tahu harus berbuat apa, di sisi lain aku ini hanya anak kecil yang takut
salah dalam melakukan tindakan, tapi di sisi lainnya aku juga ingin
mempertahankan keutuhan keluarga yang selama ini baik-baik saja. Andai kalian tahu
ayah, ibu, akulah yang menjadi korban dalam situasi ini.
Dengan perjalanan yang panjang
dan berliku, permasalahan ini pun akhirnya mereda, tidak tahu dengan cara apa
kedua orang tuaku kembali seperti dulu. Mungkin mereka telah sadar dan mengakui
kesalahan yang mereka lakukan selama ini, dan yang aku liat merekapun berusaha
memperbaiki hubungan dan kualitas diri masing-masing.
Melihat keluargaku utuh kembali
aku merasa bahagia, mungkin inilah cara orang dewasa mengerjakan ujian
kesetiaan. Namun hari-hari berikutnya masalah demi masalah pun muncul lagi,
kali ini bukan masalah pengkhianatan tapi masalah keuangan dan makanan.
Karena masalah sebelumnya
perekonomian keluarga kami jauh merosot dibanding sebelumnya, boleh dikatakan
keluarga kami mengalami kebangkrutan. Setiap hari kami satu keluarga perlu
makanan juga biaya sehari-hari. Dengan kondisi pada saat itu ayah sudah tidak
punya pekerjaan, ibuku pun hanya sesekali mendapat penghasilan ketika ada
pesanan kue.
Yang dulunya segala macam
makanan selalu tersedia di rumah, kali ini kami hanya bisa makan seadanya
bahkan jika tidak ada makanan yang tersisa kami hanya memakan mie instan.
Ketika itu aku berpikir sungguh luar biasa cobaan seorang hamba yang di beri
kepercayaan oleh Allah dan dampak yang di timbulkan ketika tidak bisa
mengembannya.
Kembali hidup sederhana tidaklah
sulit aku jalani, karena kami dulu pun sangat sederhana, sehingga terbiasa
dengan keadaan yang kembali menjadi sederhana. Jeleknya aku selalu menyalahkan
orang tuaku yang tidak bisa menahan ego masing-masing. Jika kejadian itu tidak
pernah terjadi mungkin kehidupan kami akan sangat jauh baik dibanding sekarang.
Hingga saat ini aku selalu
membenci segala bentuk pengkhianatan, baik itu yang dilakukan sengaja maupun
tidak sengaja. Baik itu dilakukan demi balas dendam tetap saja pengkhiantan
adalah hal yang tidak baik.
Oya, aku pernah berpikir apakah
ketika kita berlaku setia pada pasangan, kita akan menerima sakit hati yang
luar biasa dan bukan kesetian pula yang akan kita terima. Atau mungkin lebih
baik kita tidak usah setia saja dalam menjalani hubungan ?
Akhirnya aku tersadar kembali
ketika membaca kalimat bahwa “Bahagia Itu Sederhana” aku mengartikan bahwa
ketika kita ingin bahagia kita pun harus membahagiakan orang lain, entah perlakuan
apa yang akan kita terima nantinya kita harus menghadapi itu. karena itulah
hukumnya, dan kesetiaan pun sama ketika kita setia kita akan banyak menerima
kesakitan hati, mungkin itu yang harus diterima karena hukum timbal balik itu
pasti terjadi. Mungkin orang yang mengkhianati kita akan di khianati lagi meski
bukan oleh kita.
Banyak pelajaran yang kita
peroleh dalam setiap peristiwa yang terjadi si sekitar kita, banyak hal pula
yang harus kita pelajari dalam hidup ini. Dalam hubungan bayak hal yang harus
dibuat seimbang dan banyak ego yang harus dihilangkan.
Begitupun dengan keadaan
keluargaku sekarang, karena kejadian dahulu banyak hal yang berharga yang kami
se-keluarga alami dan kami jadikan pelajaran. Sejak saat itu ayah selalu
berjuang agar usahanya kembali maju, walaupun harus banyak juga jatuh bangun
yang dialami ayah, namun dengan tekad dan niat yang kuat ayahku kini berhasil
memajukan usahanya lagi, beliau pun berjanji tidak akan melakukan hal bodoh
lagi, beliau hanya ingin fokus pada keluarga dan kebahagiaan kami. Walaupun
hingga saat ini banyak rintangan dan godaan yang di terima ayah namun ayah
tindak ingin mengecewakan ibu dan aku lagi.
Begitu pula dengan ibu, dengan
banyaknya peran yang ibu lakukan, dengan kerasnya usaha yang ibu jalankan. Kami
pun tidak terus menerus terpuruk dalam kekurangan, ibu selalu berusaha
mencukupi apa yang kami butuhkan, entah telah berapa banyak keringat yang ibu
keluarkan agar kami semua tidak kelaparan.
Inilah kisahku dan kisah orang
tuaku dalam menjalani hukum kesetiaan, dalam setiap kebaikan pasti ada berjuta
kebaikan yang akan kita peroleh, dalam kesetiaan akan banyak pelajaran yang
bisa kita pelajari walau terkadang harus merasakan pula sakit hati dan dalam
sekecil apapun kejahatan pasti semua itu akan kita bayar dan kita rasakan
akhirnya.
Namaku Putri Rahmatia Fitriana,
nama penaku Koginara, akun FB-ku Koginara Tabputy Numbone, email koginara@gmail.com, lahir di Kuningan, 14 Maret 1994, hobi
menulis, baca juga nonton dvd drama korea. Tinggal di kuningan-jawa barat,
mulai menulis sejak SMP namun banyak juga naskah yang tidak pernah terbit.
Hehehe
Salam kenal,
Anyeongg !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar