Kamis, 21 November 2013

Tangisan Hujan



Hari itu entah mengapa hujan tak henti-hentinya turun, seolah alam pun ikut bersedih atas kenyataan yang aku alami. Aku berharap mentari yang hadir, bukan hujan dan suara pilu gemerciknya, bukan pula awan gelap yang membuat hati ini semakin pilu.
            Entah sudah berapa jam aku terisak seperti ini, merasa sesak dengan kesakitan hati yang harus aku terima. Berapa banyak air mata yang aku keluarkan demi laki-laki itu, aku tidak perduli. Yang aku mau sekarang hanya menangis meluapkan semua kesedihan ini.
            “Aku pernah bilang dia bukan laki-laki setia, kenapa kamu masih saja percaya padanya, dan kau tau betapa jahatnya dia sekarang, cukupkah bukti ini untuk meyakinkanmu Ra?”
            “Aku tidak tahu akan seperti ini Ran.” Jawabku sesak.
            Mendengar kata-kata itu membuat hatiku makin tercabik-cabik, membuat air mata ini semakin deras mengalir, betapa bodohnya aku, hingga aku di tipu berkali-kali namun aku tetap saja tertipu?
            Rio, itulah nama laki-laki yang sedang aku tangisi, selama 2 tahun ini hanya dia yang ada di mataku, tidak ada yang lain. Semua yang aku lakukan hanya untuk Rio, apapun yang Rio pinta aku selalu berusaha memenuhinya. Karena di mataku Rio adalah sosok yang berbeda dengan laki-laki lain, dia dewasa, pengertian dan sedikit sekali mengatur.
            Awal pertemuan kami karena hujan, hari itu entah kenapa tiba-tiba hujan turun di siang hari yang sangat panas. Walau sebentar namun cukup meredam hawa panas di sekolah. Karena terburu-buru pergi ke kelas dan karena takut seragamku basah alhasil aku berlari tanpa melihat ke depan.
            Brukkkkkkk
            Badanku menabrak sesuatu dan terjatuh tepat di depan kelas. Aku tahu aku pasti menabrak seseorang, karena tidak mungkin ada tiang berdiri tepat di depan kelasku. Seketika emosiku memuncak, campur aduk antara kesal, marah dan sakit. Namun sayang semuanya luntur, terlambat karena sosok yang aku tabrak ternyata Mrs. Lessy, guru biologi di kelasku.
            Setengah jam Mrs. Lessy mengoceh kesana kemari, berkomentar ini itu, menyalahkan aku yang katanya tidak memakai mata ketika berjalan, bukankan berjalan itu menggunakan kaki, bukan mata?
            Aku hanya bisa tertunduk, manggut-manggut dan bicara dalam hati hingga Mrs. Lessy selesai menasehatiku. Akhirnya aku di jatuhi hukuman karena katanya membuat Mrs. Lessy terjatuh, padahal aku juga sama terjatuh menabrak tubuhnya yang gempal tersusun atas banyak sekali lemak di perut, lengan dan pipinya.
            “Semuanya harus bersih, tidak boleh tidak. Mengerti Rara !” tegas Mrs. Lessy.
            “Iya, Mrs.” Jawabku terpaksa.
            Apa boleh buat karena hukuman telah di jatuhkan aku harus mematuhinya, membersihkan seluruh koridor di sekolah. Bukankah ini keterlaluan? Koridor sekolah tidak hanya satu meter panjangnya, tapi lebih dari itu. Hukuman ini cocok bagi murid yang kesalahnnya lebih fatal di banding aku.
            “Hufftttt”
            Pada jam pelajaran seperti ini banyak sekali murid yang berlalu-lalang, akan percuma saja jika aku membersihkan semua koridor, karena tetap saja akan kotor, di injak lagi, kotor lagi, di bersihkan lagi, di injak lagi, kotor lagi, terus dan terus seperti itu. Aku sudah tidak sanggup lagi jika situasinya seperti ini, mereka yang berlalu-lalang sama sekali tidak peduli padaku yang sejak tadi membersihkan koridor ini.
            Emosiku sudah tidak bisa ku bending lagi, ketika ada segerombolan anak laki-laki yang sedang berjalan seenaknya dengan sepatu kotor yang mengotori lantai yang baru saja aku bersihkan.
            “Hei kalian, gak liat apa lantai ini sedang di bersihkan, kalian malah seenaknya mengotori, memangnya tidak capek apa membersihkan kotoran yang kalian tempel di lantai, hah?” kataku sewot.
            Entah dari mana datangnya keberanian itu, aku membentak segerombolan kakak kelas, laki-laki lagi, tapi sudahlah toh memang benar aku lelah jika harus di hukum seperti ini, namun mereka tidak menghargai pekerjaanku.
            “Siapa dia berani marah sama kita?” jawab salah seorang dari mereka.
            “Anak kelas X saja sudah seberani ini, kamu tidak tau siapa kami?” jawab orang di sebelahnya.
            “Bodo amat kalian siapa, aku tidak peduli. Bisakan kalian menghargai pekerjaanku, bukan menambah pekerjaanku lebih berat lagi, kakak kelas itu harusnya lebih mengerti, bukan sibuk menyombongkan kekuasaan !” jawabku lebih sadis lagi.
            Mendengar ucapanku barusan mereka makin marah, hampir saja orang yang pertama menjawab tadi menampar wajahku, tapi akhirnya tidak jadi karena Rio menangkis tangan orang itu.
            Itulah kesan pertama yang sangat manis dari Rio, yang membuatku suka padanya. Dan hari berikutnya entah kenapa Rio makin sering menemuiku, sering pulang sekolah bersama, makan siang bersama dan akhirnya aku benar-benar jatuh cinta padanya.
***
            Lagi-lagi hujan turun tanpa aku undang, kenapa setiap aku menangis hujan selalu datang. Aku tidak butuh hujan, yang akau butuhkan sekarang mentari bukan hujan.
            “Sudahlah Ra, jangan menangis seperti ini. Jangan kau tangisi laki-laki seperti Jack”.
            “Ta ta tapi Ran...” Jawabku terbata-bata, berusaha menjawab pernyataan sahabatku.
            Ya kali ini hujan itu untuk Jack, setelah putus dari Rio aku telah menemukan Jack, laki-laki yang sangat baik, yang siap memasang badan bila Rio menyakitiku di sekolah. Yang berjanji tidak akan seperti Rio yang mengkhianatiku, yang katanya akan selalu setia padaku. Dan pastinya dia lebih baik dari Rio.
            Namun nyatanya aku baru tahu Jack seperti itu karena ada maksud tertentu. Jack adalah salah satu dari kakak kelas yang aku bentak tempo hari. Namun dia yang paling baik penampilannya dari mereka semua, dia terkenal paling ramah dan berbeda dari anggota yang lain.
            Mungkin karena salahku juga tidak sopan membentak mereka, akhirnya mereka tidak terima dan sakit hati kemudian mereka membuat taruhan untuk membuatku jatuh cinta pada salah seorang dari mereka kemudian membuatku sakit hati, ya sakit hati seperti sekarang.
            “Aku menangis bukan untuk Jack, tapi untuk kebodohanku Ran.” Jawabku terisak.
            Aku memang bodoh mengapa aku tidak peka sebelumnya, seharusnya aku tahu jalan cerita ini sebelumnya, karena kejadian ini banyak sekali di ceritakan di novel, cerpen atau sinetron bahkan mungkin film. Jack benar-benar telah mengalihkan akal sehatku lagi, dengan tampang manisnya dia telah menipuku, mengapa di dunia ini laki-laki  itu sama saja, penipu.
***
            “Ra, Rara, kamu kenapa?” tanya Randy.
            “Oh, emm, ya kenapa Ran?” jawabku setelah tersadar dari lamunan.
            “Jadi apa jawaban kamu, Ra?” tanya Randy lagi.
            “Ohh itu..” sebelum menyelesaikan kalimatku, aku meminum jus yang sejak tadi belum aku minum. Jus jeruk yang asam, tapi sayang ini tidak cocok untukku sekarang, karena diluar hujan kembali turun seharusnya aku memesan minuman hangat.
Hujan kali ini aku yang mengundang, tidak, aku tidak akan menangis di sini, aku hanya rindu hujan tapi ketika hati ini tidak sedang bersedih. Aku ingin menikmati hujan dan gemerciknya sekarang. Menghirup bau tanah basah dan tetesan air di daun yang membuat hati ini tenang dalam memutuskan jawabanku pada Randy.
“Maaf Ran, aku tidak bisa.” Akhirnya hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari bibirku.
            Setelah mengucapkan kalimat itu aku pergi meninggalkan Randy di restoran yang sering kami kunjungi berdua. Randy adalah sahabatku sejak SMP, dia tahu semua kisah cintaku, karena aku selalu bercerita padanya dan dia orang pertama yang menenangkanku ketika aku menangis. Aku telah memikirkan semuanya, mungkin setelah kejadian hari ini akan ada yang berubah dari aku dan Randy.
            Namun aku berharap Randy mengerti kenapa aku tidak meng-iya-kan permintaannya. Aku hanya takut Randy seperti Rio atau Jack. Meskipun aku tahu Randy bukanlah orang seperti itu. Namun bagiku cukuplah aku dan Randy bersahabat, karena aku belum siap untuk memulai kisah lagi, aku tidak ingin kehilangan Randy.
            Di tengah hujan ini aku menangis, aku melukai hatiku lagi, aku membohongi hati ini, membohongi hujan yang aku undang. Aku tidak ingin orang lain tahu aku menangis lagi, apalagi Randy. Hanya dengan menangis di tengah hujan inilah satu-satunya cara agar mereka tidak tahu.
            “Menangislah Ra, karena aku akan selalu ada di sampingmu ketika kamu ingin menangis, karena kamu tidak akan pernah bisa menyembunyikannya dariku.” Tiba-tiba Randy ada di sampingku dan meraih tanganku.