Hujan turun dengan tenangnya, dipagi seindah ini sayang sekali jika
harus di siram air hujan, padahal aku sangat ingin merasakan sinar mentari yang
hangat dan membuatku bersemangat. Hari ini aku memulai aktifitasku kembali,
dengan tas ransel favoritku aku bersiap menembus hujan, jalan, dan waktu yang
tak sebentar demi menempuh istana ke-2 ku.
Setiap
sabtu pagi, pagi-pagi sekali aku harus bangun dan bersiap untuk pergi ke
terminal, takutnya aku akan ketinggalan bis, bisa gawat jika aku ketinggalan
bis, bisa-bisa pelajaran pertama nanti aku telat. Setelah perbekalan sudah siap
tak lupa aku berpamitan kepada keluargaku, meminta restu agar aku dimudahkan
dalam segala urusan.
Singkat
cerita aku sampai di terminal, tempat favoritku setiap hari sabtu. Dengan cuaca
dingin dan hujan yang terus mengguyur kota kecilku ini. Kotaku merupakan sebuah
kota yang sangat subur, udaranya pun masih segar, belum banyak tercemar oleh
polusi, masih sering terdengar kicau burung disana-sini.
Seketika
aku melihat bis tujuan Merak sudah tiba di terminal, aku langsung bergegas
mendekati bis itu. Rasanya tenang sekali jika aku sudah berada dalam bis itu,
dan semangatku mulai muncul kembali, semangat menggapai cita-cita.
Dalam
perjalanan banyak hal yang aku pelajari, bagaiman rasanya sulit menjalani
kehidupan yang keras ini. Apalagi ketika aku melihat para pengamen, penjaja
makanan yang keluar masuk dalam bis yang aku tumpangi ini. Mereka semua harus
berlari, dengan resiko yang besar, bisa saja mereka terjatuh, atau bahkan hal
yang tidak di inginkan lainnya terjadi.
Rasa
malu buat mereka akan disingkirkan, rasa gengsi akan terkalahkan demi mencari
nafkah, mereka tidak malu menjajakan barang dagangan mereka. Mereka tidak malu
harus menawarkannya, mereka malah senang dengan apa yang mereka lakukan. Kadang
aku berfikir ingin rasanya aku seperti mereka yang dapat bekerja keras dan
membiayai sekolah sendiri.
Melihat
mereka yang berjuang keras di jalanan aku merasa sangat bersyukur karena aku
masih diberi kecukupan dalam segala hal, aku masih bisa sekolah, masih bisa
makan dengan teratur bahkan masih bisa jajan. Namun hati kecil ini pun akhirnya
mengakui bahwa merekalah yang beruntung, mereka masih bisa makan dengan hasil
jerih payah mereka sendiri, bukan meminta pada orang tua, seperti aku.
Setiap
minggunya aku harus berangkat ke tempatku menimba ilmu, yang jaraknya lumayan
jauh dari tempat tinggalku. Memerlukan sekitar 7 jam perjalanan darat agar bisa
sampai di tempatku belajar.
Banyak
orang yang mengasihiku karena mungkin aku akan lelah dengan perjalanan panjang
ini, namun bagiku itu semua adalah tantangannya. Dengan jarak jauh aku tempuh
pendidikan, dengan biaya yang tidak sedikit, dengan uang yang pas-pasan, semua
itu harus aku jalani.
Sebelum
pertengahan hari biasanya aku telah sampai di tempatku belajar, sambil menunggu
jam pertama di mulai aku beristirahat sejenak di asrama. Ya, kebetulan disana
di sediakan asrama bagi pelajar yang tempat tinggalnya jauh.
Aku
menyukai tempatku belajar ini karena aku sendiri tidak memiliki alasan, aku
merasa nyaman belajar disini, lingkungan, fasilitas, cara mengajar dan
teman-temannya aku suka.
Tiba-tiba
aku teringat, suatu malam aku dan ayah terlibat pembicaraan serius mengenai
tempatku belajar ini. Sepertinya ayah mulai tidak menyukai pilihanku, selain
jaraknya yang jauh dari rumah, tempatku belajar ini menurutnya terbilang mahal
untuk pembayarannya. Sebisaku aku terus mempertahankan agar aku terus bisa
sekolah disini, entah mengapa aku ingin mempertahankannya, aku ingin tetap
belajar disana. Tapi aku juga tahu itu akan menjadi kendala ayah dan akan
membuat beban ayah semakin berat.
Itulah
mengapa aku iri pada orang jalanan, mereka sepertinya tidak sulit menjalani
hidup dan mencari kerja, sedangkan aku rasanya sulit sekali ingin mendapatkan
kerja dan mempertahankan tempaku belajar ini.
Dua
hari berlalu, saatnya aku kembali ke kotaku, dalam perjalanan aku berfikir aku
akan mencoba dan mengikuti teman-teman jalananku. Hingga akhirnya sebelum
pulang ke kotaku, dengan sedikit modal aku membeli barang yang akan aku jual di
bis, dan dengan keberanian dan menyingkirkan rasa malu, aku mulai menjajakan
barang daganganku dari bis ke bis, awalnya memang terasa sulit, namun Allah
mempermudah jalanku.
Setelah
berjam-jam aku menjajakan barang daganganku, alhamdulillah semuanya habis
terjual, dan modal pun telah kembali, bahkan sekarang aku mendapat untungnya.
Sejak
saat itu aku putuskan untuk berjuang agar aku bisa tetap belajar di tempatku
belajar kini. Setiap sabtu pagi aku berangkat dari kotaku, dan jika masih ada
waktu tersisa sebelum jam pertama dimulai, aku menjajakan barang daganganku.
Dan pada hari berikutnya aku menjajakan kembali barang daganganku sebelum
akhirnya aku kembali ke kota kecilku tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar