Hari itu entah mengapa hujan tak
henti-hentinya turun, seolah alam pun ikut bersedih atas kenyataan yang aku
alami. Aku berharap mentari yang hadir, bukan hujan dan suara pilu gemerciknya,
bukan pula awan gelap yang membuat hati ini semakin pilu.
Entah
sudah berapa jam aku terisak seperti ini, merasa sesak dengan kesakitan hati
yang harus aku terima. Berapa banyak air mata yang aku keluarkan demi laki-laki
itu, aku tidak perduli. Yang aku mau sekarang hanya menangis meluapkan semua
kesedihan ini.
“Aku
pernah bilang dia bukan laki-laki setia, kenapa kamu masih saja percaya
padanya, dan kau tau betapa jahatnya dia sekarang, cukupkah bukti ini untuk
meyakinkanmu Ra?”
“Aku
tidak tahu akan seperti ini Ran.” Jawabku sesak.
Mendengar
kata-kata itu membuat hatiku makin tercabik-cabik, membuat air mata ini semakin
deras mengalir, betapa bodohnya aku, hingga aku di tipu berkali-kali namun aku
tetap saja tertipu?
Rio,
itulah nama laki-laki yang sedang aku tangisi, selama 2 tahun ini hanya dia
yang ada di mataku, tidak ada yang lain. Semua yang aku lakukan hanya untuk
Rio, apapun yang Rio pinta aku selalu berusaha memenuhinya. Karena di mataku
Rio adalah sosok yang berbeda dengan laki-laki lain, dia dewasa, pengertian dan
sedikit sekali mengatur.
Awal
pertemuan kami karena hujan, hari itu entah kenapa tiba-tiba hujan turun di
siang hari yang sangat panas. Walau sebentar namun cukup meredam hawa panas di
sekolah. Karena terburu-buru pergi ke kelas dan karena takut seragamku basah
alhasil aku berlari tanpa melihat ke depan.
Brukkkkkkk
Badanku
menabrak sesuatu dan terjatuh tepat di depan kelas. Aku tahu aku pasti menabrak
seseorang, karena tidak mungkin ada tiang berdiri tepat di depan kelasku.
Seketika emosiku memuncak, campur aduk antara kesal, marah dan sakit. Namun sayang
semuanya luntur, terlambat karena sosok yang aku tabrak ternyata Mrs. Lessy,
guru biologi di kelasku.
Setengah
jam Mrs. Lessy mengoceh kesana kemari, berkomentar ini itu, menyalahkan aku
yang katanya tidak memakai mata ketika berjalan, bukankan berjalan itu
menggunakan kaki, bukan mata?
Aku
hanya bisa tertunduk, manggut-manggut dan bicara dalam hati hingga Mrs. Lessy
selesai menasehatiku. Akhirnya aku di jatuhi hukuman karena katanya membuat
Mrs. Lessy terjatuh, padahal aku juga sama terjatuh menabrak tubuhnya yang
gempal tersusun atas banyak sekali lemak di perut, lengan dan pipinya.
“Semuanya
harus bersih, tidak boleh tidak. Mengerti Rara !” tegas Mrs. Lessy.
“Iya,
Mrs.” Jawabku terpaksa.
Apa
boleh buat karena hukuman telah di jatuhkan aku harus mematuhinya, membersihkan
seluruh koridor di sekolah. Bukankah ini keterlaluan? Koridor sekolah tidak
hanya satu meter panjangnya, tapi lebih dari itu. Hukuman ini cocok bagi murid
yang kesalahnnya lebih fatal di banding aku.
“Hufftttt”
Pada
jam pelajaran seperti ini banyak sekali murid yang berlalu-lalang, akan percuma
saja jika aku membersihkan semua koridor, karena tetap saja akan kotor, di
injak lagi, kotor lagi, di bersihkan lagi, di injak lagi, kotor lagi, terus dan
terus seperti itu. Aku sudah tidak sanggup lagi jika situasinya seperti ini,
mereka yang berlalu-lalang sama sekali tidak peduli padaku yang sejak tadi
membersihkan koridor ini.
Emosiku
sudah tidak bisa ku bending lagi, ketika ada segerombolan anak laki-laki yang
sedang berjalan seenaknya dengan sepatu kotor yang mengotori lantai yang baru
saja aku bersihkan.
“Hei
kalian, gak liat apa lantai ini sedang di bersihkan, kalian malah seenaknya
mengotori, memangnya tidak capek apa membersihkan kotoran yang kalian tempel di
lantai, hah?” kataku sewot.
Entah
dari mana datangnya keberanian itu, aku membentak segerombolan kakak kelas,
laki-laki lagi, tapi sudahlah toh memang benar aku lelah jika harus di hukum
seperti ini, namun mereka tidak menghargai pekerjaanku.
“Siapa
dia berani marah sama kita?” jawab salah seorang dari mereka.
“Anak
kelas X saja sudah seberani ini, kamu tidak tau siapa kami?” jawab orang di
sebelahnya.
“Bodo
amat kalian siapa, aku tidak peduli. Bisakan kalian menghargai pekerjaanku,
bukan menambah pekerjaanku lebih berat lagi, kakak kelas itu harusnya lebih
mengerti, bukan sibuk menyombongkan kekuasaan !” jawabku lebih sadis lagi.
Mendengar
ucapanku barusan mereka makin marah, hampir saja orang yang pertama menjawab
tadi menampar wajahku, tapi akhirnya tidak jadi karena Rio menangkis tangan
orang itu.
Itulah
kesan pertama yang sangat manis dari Rio, yang membuatku suka padanya. Dan hari
berikutnya entah kenapa Rio makin sering menemuiku, sering pulang sekolah
bersama, makan siang bersama dan akhirnya aku benar-benar jatuh cinta padanya.
***
Lagi-lagi
hujan turun tanpa aku undang, kenapa setiap aku menangis hujan selalu datang.
Aku tidak butuh hujan, yang akau butuhkan sekarang mentari bukan hujan.
“Sudahlah
Ra, jangan menangis seperti ini. Jangan kau tangisi laki-laki seperti Jack”.
“Ta
ta tapi Ran...” Jawabku terbata-bata, berusaha menjawab pernyataan sahabatku.
Ya
kali ini hujan itu untuk Jack, setelah putus dari Rio aku telah menemukan Jack,
laki-laki yang sangat baik, yang siap memasang badan bila Rio menyakitiku di
sekolah. Yang berjanji tidak akan seperti Rio yang mengkhianatiku, yang katanya
akan selalu setia padaku. Dan pastinya dia lebih baik dari Rio.
Namun
nyatanya aku baru tahu Jack seperti itu karena ada maksud tertentu. Jack adalah
salah satu dari kakak kelas yang aku bentak tempo hari. Namun dia yang paling
baik penampilannya dari mereka semua, dia terkenal paling ramah dan berbeda
dari anggota yang lain.
Mungkin
karena salahku juga tidak sopan membentak mereka, akhirnya mereka tidak terima
dan sakit hati kemudian mereka membuat taruhan untuk membuatku jatuh cinta pada
salah seorang dari mereka kemudian membuatku sakit hati, ya sakit hati seperti
sekarang.
“Aku
menangis bukan untuk Jack, tapi untuk kebodohanku Ran.” Jawabku terisak.
Aku
memang bodoh mengapa aku tidak peka sebelumnya, seharusnya aku tahu jalan
cerita ini sebelumnya, karena kejadian ini banyak sekali di ceritakan di novel,
cerpen atau sinetron bahkan mungkin film. Jack benar-benar telah mengalihkan
akal sehatku lagi, dengan tampang manisnya dia telah menipuku, mengapa di dunia
ini laki-laki itu sama saja, penipu.
***
“Ra,
Rara, kamu kenapa?” tanya Randy.
“Oh,
emm, ya kenapa Ran?” jawabku setelah tersadar dari lamunan.
“Jadi
apa jawaban kamu, Ra?” tanya Randy lagi.
“Ohh
itu..” sebelum menyelesaikan kalimatku, aku meminum jus yang sejak tadi belum
aku minum. Jus jeruk yang asam, tapi sayang ini tidak cocok untukku sekarang, karena
diluar hujan kembali turun seharusnya aku memesan minuman hangat.
Hujan kali ini aku yang
mengundang, tidak, aku tidak akan menangis di sini, aku hanya rindu hujan tapi
ketika hati ini tidak sedang bersedih. Aku ingin menikmati hujan dan gemerciknya
sekarang. Menghirup bau tanah basah dan tetesan air di daun yang membuat hati
ini tenang dalam memutuskan jawabanku pada Randy.
“Maaf Ran, aku tidak
bisa.” Akhirnya hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari bibirku.
Setelah
mengucapkan kalimat itu aku pergi meninggalkan Randy di restoran yang sering
kami kunjungi berdua. Randy adalah sahabatku sejak SMP, dia tahu semua kisah
cintaku, karena aku selalu bercerita padanya dan dia orang pertama yang menenangkanku
ketika aku menangis. Aku telah memikirkan semuanya, mungkin setelah kejadian
hari ini akan ada yang berubah dari aku dan Randy.
Namun
aku berharap Randy mengerti kenapa aku tidak meng-iya-kan permintaannya. Aku
hanya takut Randy seperti Rio atau Jack. Meskipun aku tahu Randy bukanlah orang
seperti itu. Namun bagiku cukuplah aku dan Randy bersahabat, karena aku belum
siap untuk memulai kisah lagi, aku tidak ingin kehilangan Randy.
Di
tengah hujan ini aku menangis, aku melukai hatiku lagi, aku membohongi hati
ini, membohongi hujan yang aku undang. Aku tidak ingin orang lain tahu aku
menangis lagi, apalagi Randy. Hanya dengan menangis di tengah hujan inilah
satu-satunya cara agar mereka tidak tahu.
“Menangislah
Ra, karena aku akan selalu ada di sampingmu ketika kamu ingin menangis, karena kamu
tidak akan pernah bisa menyembunyikannya dariku.” Tiba-tiba Randy ada di
sampingku dan meraih tanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar